Syukur Yang Terlambat
Kata orang, penyesalan selalu datang terlambat.
Namun bagiku, rasa syukur lah yang justru datang dengan terlambat.
Tertinggal kereta kekecewaan di stasiun hati yang sudah terlebih dahulu berangkat mengusik logika.
Jikalau dipikir, semua hal dalam hidup ini memang terhubung dalam hubungan sebab akibat yang bisa dibilang tak sederhana, namun juga tak serumit yang mungkin kau kira.
Hubungan itu tak sesederhana hubungan yang hanya melibatkan dua entitas, dimana entitas satu menjadi sebab untuk apa yang diakibatkan pada entitas dua begitupun sebaliknya, secara langsung. Dibalik kedua entitas tersebut, hadir entitas-entitas bersama faktor-faktor lainnya yang saling menciptakan gelombang interferensi satu sama lain, layaknya riak dari tetesan hujan pada satu genangan air. Jikalau kau mau mengibaratkan bahwa dunia kita hanya sebatas genangan air saja.
Tapi bukankah lautan sekalipun merupakan genangan air yang sangat luas?
Satu riak yang ditimbulkan satu tetes hujan menginterupsi riak dari tetesan lainnya, terus seperti itu hingga riak pertama tadi terinterupsi. Itu jika kau hanya melihat dari satu tetes hujan yang menyebabkan munculnya satu riak. Sadarkah kau, bukankah hujan tidak datang setetes dua tetes?
Namun seperti pepatah yang mengatakan 'apa yang kau perbuat, itu pula yang akan kau tuai', begitulah hubungan sebab akibat antar hal-hal di hidup ini. Itulah yang menurutku membuat hubungan antar hal-hal dalam hidup mungkin tak serumit yang kau kira, mungkin.
Apa yang aku perbuat mungkin merupakan akibat yang timbul dari apa yang disebabkan orang lain. Begitu pula apa yang disebabkan orang lain, mungkin merupakan akibat yang timbul dari apa yang orang lainnya perbuat. Hingga mungkin saja apa yang kuperbuat menyebabkan suatu akibat pada orang lain. Baik yang dikenal, maupun tak dikenal secara langsung. Bukan begitu?
Kembali ke rasa syukur yang datang terlambat, bukan penyesalan lah yang datang terlambat. Penyesalan justru selalu datang diawal. Ia tidak pernah datang terlambat.
Ingat kan, akhir suatu peristiwa merupakan awal untuk peristiwa lainnya.
Kata-kata pengandaian, bentuk dari rasa penyesalan, selalu muncul diakhir peristiwa yang mungkin tidak berjalan sesuai harapan kita pribadi. Namun dibalik bentuk penyesalan yang timbul, bukankah ada hikmah yang mungkin bisa kita ambil?
Suatu ketika, aku menyesal telah memutus suatu hubungan. "Andai hari itu aku tak putus, andai hari itu aku tak berbohong jikalau sudah tak sayang," sesalku selama berbulan-bulan. Hingga akhirnya kini aku menyadari bahwa memang sejak awal hatinya tidak memilihku, alasannya memilihku hanyalah karena sahabatku, Ia bosan dengan pengabaian belaka, karenanya Ia memilihku. Bayangkan jika hari itu kata putus tak terucap. Akankah aku dapat bersyukur selayaknya hari ini karena telah lepas dari ikatan yang tak diniatkan?
Suatu ketika, aku menyesal karena tidak memilih jurusan kuliah yang ku inginkan. "Andaikan saat itu aku tetap bersikeras memilih dan mempertahankan jurusan yang ku inginkan walau orang tua ku berkata sebaliknya," sesalku selama berbulan-bulan. Hingga akhirnya kini aku menyadari jika saja saat itu aku tetap memilih jurusan yang ku inginkan, mungkin aku tak dapat menahan seseorang yang ku kenal dari tindakan mengakhiri hidupnya, mungkin aku tak dapat menemukan arti sebuah persahabatan, mungkin aku tak dapat mengenal mereka yang ternyata mampu memahami dan senantiasa mendukungku, apa adanya.
Dibalik penyesalan yang datang, aku menemukan rasa syukur yang datang terlambat.
Aku bersyukur, atas apa yang telah terjadi, yang pernah ku sesali.
Karena darinya aku dapat belajar, aku dapat memahami, dan aku menjadi tahu pun mengerti, bahwasanya apa yang tampak di depanmu tak sepenuhnya terjadi seperti yang kau lihat.
Dari penyesalan yang menjadi rasa syukur, aku mengerti, cara mengendalikan hati dari rasa sakit akan iri dan dengki.
Dan yang terpenting, aku bersyukur, karena waktu serta energi yang kucurahkan memberikan makna tersendiri, untuk ku.
Namun bagiku, rasa syukur lah yang justru datang dengan terlambat.
Tertinggal kereta kekecewaan di stasiun hati yang sudah terlebih dahulu berangkat mengusik logika.
Jikalau dipikir, semua hal dalam hidup ini memang terhubung dalam hubungan sebab akibat yang bisa dibilang tak sederhana, namun juga tak serumit yang mungkin kau kira.
Hubungan itu tak sesederhana hubungan yang hanya melibatkan dua entitas, dimana entitas satu menjadi sebab untuk apa yang diakibatkan pada entitas dua begitupun sebaliknya, secara langsung. Dibalik kedua entitas tersebut, hadir entitas-entitas bersama faktor-faktor lainnya yang saling menciptakan gelombang interferensi satu sama lain, layaknya riak dari tetesan hujan pada satu genangan air. Jikalau kau mau mengibaratkan bahwa dunia kita hanya sebatas genangan air saja.
Tapi bukankah lautan sekalipun merupakan genangan air yang sangat luas?
Satu riak yang ditimbulkan satu tetes hujan menginterupsi riak dari tetesan lainnya, terus seperti itu hingga riak pertama tadi terinterupsi. Itu jika kau hanya melihat dari satu tetes hujan yang menyebabkan munculnya satu riak. Sadarkah kau, bukankah hujan tidak datang setetes dua tetes?
Namun seperti pepatah yang mengatakan 'apa yang kau perbuat, itu pula yang akan kau tuai', begitulah hubungan sebab akibat antar hal-hal di hidup ini. Itulah yang menurutku membuat hubungan antar hal-hal dalam hidup mungkin tak serumit yang kau kira, mungkin.
Apa yang aku perbuat mungkin merupakan akibat yang timbul dari apa yang disebabkan orang lain. Begitu pula apa yang disebabkan orang lain, mungkin merupakan akibat yang timbul dari apa yang orang lainnya perbuat. Hingga mungkin saja apa yang kuperbuat menyebabkan suatu akibat pada orang lain. Baik yang dikenal, maupun tak dikenal secara langsung. Bukan begitu?
Kembali ke rasa syukur yang datang terlambat, bukan penyesalan lah yang datang terlambat. Penyesalan justru selalu datang diawal. Ia tidak pernah datang terlambat.
Ingat kan, akhir suatu peristiwa merupakan awal untuk peristiwa lainnya.
Kata-kata pengandaian, bentuk dari rasa penyesalan, selalu muncul diakhir peristiwa yang mungkin tidak berjalan sesuai harapan kita pribadi. Namun dibalik bentuk penyesalan yang timbul, bukankah ada hikmah yang mungkin bisa kita ambil?
Suatu ketika, aku menyesal telah memutus suatu hubungan. "Andai hari itu aku tak putus, andai hari itu aku tak berbohong jikalau sudah tak sayang," sesalku selama berbulan-bulan. Hingga akhirnya kini aku menyadari bahwa memang sejak awal hatinya tidak memilihku, alasannya memilihku hanyalah karena sahabatku, Ia bosan dengan pengabaian belaka, karenanya Ia memilihku. Bayangkan jika hari itu kata putus tak terucap. Akankah aku dapat bersyukur selayaknya hari ini karena telah lepas dari ikatan yang tak diniatkan?
Suatu ketika, aku menyesal karena tidak memilih jurusan kuliah yang ku inginkan. "Andaikan saat itu aku tetap bersikeras memilih dan mempertahankan jurusan yang ku inginkan walau orang tua ku berkata sebaliknya," sesalku selama berbulan-bulan. Hingga akhirnya kini aku menyadari jika saja saat itu aku tetap memilih jurusan yang ku inginkan, mungkin aku tak dapat menahan seseorang yang ku kenal dari tindakan mengakhiri hidupnya, mungkin aku tak dapat menemukan arti sebuah persahabatan, mungkin aku tak dapat mengenal mereka yang ternyata mampu memahami dan senantiasa mendukungku, apa adanya.
Dibalik penyesalan yang datang, aku menemukan rasa syukur yang datang terlambat.
Aku bersyukur, atas apa yang telah terjadi, yang pernah ku sesali.
Karena darinya aku dapat belajar, aku dapat memahami, dan aku menjadi tahu pun mengerti, bahwasanya apa yang tampak di depanmu tak sepenuhnya terjadi seperti yang kau lihat.
Dari penyesalan yang menjadi rasa syukur, aku mengerti, cara mengendalikan hati dari rasa sakit akan iri dan dengki.
Dan yang terpenting, aku bersyukur, karena waktu serta energi yang kucurahkan memberikan makna tersendiri, untuk ku.
Comments
Post a Comment